Emporio.my.id-
MASYARAKAT Indonesia kini familiar dengan keberadaan musik K-pop, kuliner khas Korea Selatan seperti kimchi, ramyeon, tteok-bokki, film, drama, hingga pakaian adat Korea Selatan. Bintang Korea Selatan juga mulai mewarnai layer kaca Indonesia sebagai duta dari berbagai macam produk. Korea Selatan dikenal luas melalui femonema Hallyu atau Korean-Wave yang digunakan negara tersebut dalam hubungan bilateral dengan negara lain termasuk Indonesia.
“Yang mengarah pada meningkatnya kepercayaan pada Korea dari masyarakat Indonesia menunjukkan respons positif,” ujar Kandidat PhD dari Univeritas Harvard yang juga visiting scholar di Universitas Indonesia Gangsim Eom saat seminar bertajuk “Building Stronger Ties: Indonesia -Korea Collaboration Through People to People Connection” yang oleh Korea Foundation dan Indonesia Next Generation Journalists Network, di Jakarta, kemarin.
Melalui pertukaran budaya sebagai bagian dari pendekatan soft diplomacy, negeri Ginseng membangun citra positif untuk melancarkan kerja sama dan tujuan nasionalnya. Mengutip sejumlah data, pada 2022, musik industri Korea Selatan berkontribusi pada pemasukan negara lebih dari KWR11 miliar atau Rp112 triliun. Peningkatan pendapatan negara dampak dari K-wave juga dirasakan pada sektor ekspor dengan nilai kontribusi sebesar US14,2 juta atau Rp227 miliar.
Dengan Indonesia, Korea Selatan menjalin hubungan kemitraan strategis sejak 2006. Korea Selatan dan Indonesia saling melengkapi di mana keduanya berpotensi untuk saling mengisi satu sama lain. Indonesia memerlukan modal/investasi dan teknologi Sementara Korea Selatan sebagai negara industri, memerlukan berbagai sumber daya, termasuk sumber daya alam dan tenaga kerja. Data dari Kementerian Perdagangan RI menyebutkan nilai perdagangan Indonesia-Korea Selatan pada Januari-Juli 2022 sebesar USD 14,03 miliar. Pada periode tersebut, ekspor Indonesia ke Korea Selatan sebesar USD 7,27 miliar dan impornya USD 6,77 miliar. Sementara pada 2021, total nilai perdagangan kedua negara sebesar USD 18,41 miliar. Pada tahun tersebur, nilai ekspor Indonesia ke Korea Selatan mencapai USD 8,9 miliar dan impornya USD 9,4 miliar.
Eom menyampaikan untuk membuat pengaruh K-wave seperti sekarang bukan perjalanan singkat. Dimulai pada tahun 1990-an, Presiden Korea Selatan saat itu Kim Dae Jun melihat bahwa negaranya terjebak antar dua kekuatan besar yang mendominsasi yakni Cina dan Rusia.
“Kami tidak punya banyak sumber daya alam seperti Indonesia, jadi kami memaksimalkan modal sumber daya manusia yang dimiliki, kita butuh kultur hegemoni yang mana bisa menjadi nilai penting bagi pemerintah mempromosikan negara dan mengambil hati masyarakat global itu perhatian utama Korea,” papar Eom.
Untuk mewujudkannya, presiden membuat institusi pemerintah antara lain Korea Creative Content Agency (KOCCA) untuk memaksimalkan industri kreatif. Dukungan lainnya tentu, ujar Eom, anggaran yang juga krusial.
“Butuh bertahun-tahun untuk melihat hasilnya. Kami juga pernah mengalami kemunduran seperti anti-Korean Wave yang terjadi di Cina dan Jepang. Kami harus meningkatkan sensitivitas budaya untuk berkomunikasi pada masyarakat global,” ungkapnya.
Selain komitmen dari pemerintah, ketelibatan interaksi people to people exchange semakin memperluas budaya antara Korea Selatan dan Indonesia. Kebudayaan Korea Selatan diperkenalkan oleh disapora Korea Selatan di Indonesia yang melibatkan sukarelawan, akademisi yang belajar di Indonesia, dan pekerja muda. Perkembangan media sosial danperan pemengaruh media sosial yang menciptakan digital publik diplomasi misalnya lewat konten-konten yang mereka buat.
“Tidak hanya hubungan people to people tetapi ada kerja sama seperti bantuan kemanusiaan. Ini semua membuka komunikasi antar dua negara,” ucap Eom.
Pentingnya hak kekayaan intelektual
Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kementerian Ekonomi Kreatif Muhammad Neil El Himam menyampaikan Korea Selatan dapat memaksimalkan intellectual property (IP) atau hak kekayaan intelektual untuk menyumbang pendapatan bagi negara. Sayangnya, ujar Neil, di Indonesia hal itu belum sepenuhnya dijalankan.
Mengutip survei terkait ekonomi kreatif berdasarkan IP pada 2020, Neil menyebut pelaku ekonomi kreatif yang punya IP tercatat kurang dari 10%. Sedangkan pelaku ekonomi kreatif yang paham pentingnya IP kurang dari 30%.
“Padahal kita tahu perusahaan besar seperti Google, Meta, Facebook dan lain-lain based-nya IP,” ucap Neil.
Indonesia, menurutnya punya peluang maksimalkan IP sebagai aset dan mengomersialisasikannya, tentunya dengan memanfaatkan perkembangan dunia digital dan teknologi. Neil menyebut karya fotografi misalnya, dengan memanfaatkan teknologi blockchain, fotografer kini dapat menjual foto-foto mereka sebagai Non-Fungible Token ( NFT).
Di industri musik, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, ada aturan terkait masalah pemungutan royalti, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagai institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba diberi kuasa oleh pencipta, pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Namun, itu belum maksimal dilakukan. Neil menuturkan Indonesia dapat mencontoh Korea Selatan yang mempunyai beberapa manajemen kolektif untuk mengelola hak ekonomi dan pemasukan dari royalti karya musik yang sangat besar.
“Mereka bisa melakukan itu karena ekonomi kreatifnya sudah mulai jalan. Jadi pencipta lagu bisa mendapat keuntungan dari produk mereka melalui royalti,” ucap Neil. (H-3)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/humaniora/726400/belajar-dari-korea-selatan-yang-berhasil-memaksimalkan-diplomasi-budaya-untuk-kepentingan-nasional