Emporio.my.id-
PENYAKIT sosial ini bukan rahasia lagi, yaitu orang yang mengaku-aku nasabnya (keturunan) tokoh terkemuka. Tentu itu untuk mendapat privilese (keuntungan) dari masyarakat. Memang bukan kriminal, tapi pengelabuhan publik yang meresahkan.
Banyak warga, karena keterbatasan pengetahuan atau faktor lain, memercayainya. Mereka menghormati dan menyanjung. Juga membenarkan apa pun omongannya. Bahkan mengikuti perintah dan perilakunya meskipun hina dan tak masuk akal.
Dalam pakeliran, ada orang (keluarga) yang benar-benar keturunan raja besar, tetapi tidak suka mengabarkan ‘darah birunya’. Ke mana-mana mengaku rakyat jelata, bukan siapa-siapa. Identitas sejatinya baru terkuak gara-gara dari sikap kesatrianya.
Tinggal di Saptapratala
Keluarga yang merahasiakan jati dirinya itu lima bersaudara yang dikenal dengan sebutan Pandawa. Mereka tak ingin mendapat perlakuan khusus masyarakat karena status mereka. Keberadaannya tidak mau dikait-kaitkan dengan nenek moyang mereka.
Kisah sikap mulianya itu antara lain terlukis ketika Pandawa bersama Kunti Talibrata, ibunya, terlunta-lunta setelah selamat dari peristiwa pembunuhan keji. Mereka melangkah sak-paran-paran (tanpa tujuan) menghindari perilaku setan.
Ceritanya, pada malam sebelum menerima estafet kepemimpinan (takhta) Astina dari Drestarastra, Pandawa sengaja dihabisi. Saat itu, Kurawa, diotaki Sengkuni, membumihanguskan Bale Sigala-gala, tempat penginapan Kunti dan Pandawa.
Sanghyang Anantaboga menyelamatkan Kunti dan Pandawa. Istri mendiang Raja Astina Prabu Pandu Dewanata dan lima anak tersebut diungsikan ke Kahyangan Saptapratala, lapisan ketujuh bumi. Di sana mereka menenangkan hati dan pikiran.
Pada suatu hari, Kunti matur kepada Anantaboga ingin meninggalkan Saptapratala bersama putra-putranya. Ia berterima kasih atas pertolongannya sehingga luput dari maut dalam peristiwa Bale Sigala-gala yang dibakar Kurawa.
Anantaboga tak kuasa mencegah, bahkan kepada menantunya, Bratasena, yang menikahi putrinya, Dewi Nagagini. Lelaki besar dan gagah perkasa itu terpaksa meninggalkan istrinya yang sedang mengandung demi membersamai Pandawa.
Sejak lolos dari upaya pembunuhan, Puntadewa dan adiknya, yaitu Bratasena, Permadi, Tangsen, dan Pinten, berkomitmen tetap bersama-sama dalam keadaaan apa pun. Sesantinya tijitibeh, yaitu mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh.
Maknanya, Pandawa ialah satu kesatuan keluarga yang utuh, tak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Jika ada satu yang susah atau mati, semua ikut menderita dan membela mati. Juga apabila salah satu bahagia, yang lain juga harus berbahagia.
Setelah meninggalkan Saptapratala, Kunti dan Pandawa melangkahkan kaki tanpa tujuan pasti. Mereka tidak lagi ingin kembali ke Istana Astina karena tempat tinggalnya itu telah diduduki Kurawa.
Keluar-masuk dusun
Mereka masuk dusun satu ke dusun lain. Tidak ada satu pun warga yang tahu dan mengira bahwa ibu paruh baya bersama lima anak itu permaisuri raja dan pangeran. Para ‘darah biru’ itu tidak pernah memberitahu sebagai ningrat.
Dari isu yang tersebar, rakyat Astina tahunya Kunti dan Pandawa sudah meninggal. Apalagi sudah lama tidak ada kabarnya pascakebakaran Bale Sigala-gala. Jadi tak terlintas dalam benak masyarakat bahwa orang-orang terhormat itu masih hidup.
Kepada semua orang yang ditemui, Kunti mengaku janda ditinggal mati suami. Adapun lima anak laki-laki yang bersamanya ialah putranya. Apalagi dengan pakaian seadanya sehingga warga melihat enam orang itu kaum duafa.
Untuk urusan makan, setiap hari Bratasena dan Permadi bertugas mencari nafkah. Sementara itu, tempat tinggalnya, mereka bermalam di rumah warga yang rela diinapi. Demi keamanan, Kunti dan Pandawa berpindah-pindah dari dusun satu ke dusun lainnya.
Pada suatu ketika, keluarga ‘fakir-miskin’ itu sampai ke wilayah kedaulatan negara Ekacakra. Mereka masuk Dusun Manahilan yang berdekatan dengan perbatasan Astina. Kunti dan putranya mampir ke rumah warga bernama Ijrapa.
Ketika itu, hujan deras disertai angin kencang hingga sore hari. Ijrapa dan istrinya menawari menginap kepada tamu mereka. Melihat ketulusan tuan rumah, Kunti menyampaikan terima kasih atas kebaikan Ijrapa dan keluarga.
Menjelang dini hari, ketika Pandawa terlelap, Kunti masih terjaga. Ijrapa kemudian menanyakan kenapa tidak tidur. Dijelaskan tidak ada apa-apa kerena belum mengantuk saja. Ijrapa tidak puas dengan jawaban itu.
Dialog terus berlanjut hingga akhirnya Ijrapa tahu dan kaget bahwa ternyata Kunti permaisuri Prabu Pandu yang sangat dikagumi. Ia tak mengira istri Pandu dan putra-putranya mengalami penderitaan akibat kejahatan Kurawa.
Pada malam itu juga, Kunti baru mengetahui bahwa Ijrapa sekeluarga murung karena esok hari harus mengorbankan anaknya, Rawan, sebagai santapan penguasa Ekacakra, Prabu Baka. Raksasa itu gemar makan daging anak muda.
Kunti meminta Ijrapa sekeluarga tidak cemas. Anaknya yang berbadan tinggi dan besar dipersilakan diserahkan kepada Baka. Semula ditolak karena tak ingin orang lain susah, tapi setelah diyakinkan tidak akan terjadi apa-apa, tawaran diterima.
Lenyapkan Baka
Pagi harinya, Ijrapa menyerahkan ‘anak’ kepada Baka di istananya. Betapa gembiranya raksasa kanibal melihat menu sarapannya begitu besar. Terdorong rasa lapar, Baka segera meringkus, tapi calon korban melawan dengan tendangan.
Singkat cerita terjadi perkelahian sengit dan akhirnya Baka mati di tangan pemuda yang bernama Bratasena itu. Dengan lenyapnya penguasa buas tersebut, rakyat Ekacakra bersukaria. Bratasena diulu-elukan sebagai pahlawan.
Setelahnya, Kunti dan Pandawa minta izin pergi melanjutkan laku. Dengan tetesan air mata, Ijrapa sekeluarga dan warga Manahilan melepas mereka disertai doa agar senantiasa dilimpahi rahmat sang Mahakuasa. (M-3)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/weekend/727972/merahasiakan-nasab